Pages

Kisah Sukses Pendiri Rumah Buku untuk Papua




kisah sukses pendiri rumah buku untuk papua
“HARAPAN SAYA, SEMUA KAMPUNG DI PAPUA PUNYA RUMAH BACA.”
Di sebuah warung di satu malam pada Juni lalu di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dua pemuda asal Papua bertemu. Satu pemuda adalah Demianus Nawipa, 27 tahun, lahir di Kampung Kopabaida, Ekadide, di sisi timur Danau Paniai, Kabupaten Paniai, Papua. Satu pemuda lain adalah Dayu Rifanto, 33 tahun, lahir dan tumbuh besar di Nabire, Papua. Satu keturunan penduduk asli Papua, satu lagi keturunan Jawa. “Bapak dan ibu saya berasal dari Ambarawa, Jawa Tengah,” kata Dayu. Pada 1970-an, ayahnya yang seorang pendidik mengikuti program pemerintah dan ditempatkan di Nabire. Tapi Dayu, seperti halnya Demianus yang memang putra Papua, punya ikatan batin sangat kuat dengan tanah kelahirannya itu. “Saya ingin membuat rumah baca di Paniai.... Tentu Dayu sudah paham gambaran Paniai, ”Demianus mengutarakan niatnya kepada Dayu. Hingga SMA, Dayu tinggal di Nabire. Dia sangat paham seperti apa Papua. Anak Papua sudah biasa menghadapi sulitnya medan dan segala keterbatasan untuk bersekolah. Saat SMP, Demianus biasa berangkat jam empat pagi dan harus menempuh empat jam berjalan kaki bersama teman-teman hingga tiba di sekolahnya di Agadide, Paniai.


Buku, konon, merupakan jendela menuju ke dunia. Apa jadinya jika buku jadi barang mewah? Di Jawa, paling tidak di kota, begitu gampang mendapatkan buku. Tapi, di banyak daerah di Papua, buku jadi barang sangat mewah. Medan yang sulit dan jarak yang begitu jauh membuat buku sulit didapat di Papua. Kalaupun ada, harganya menjadi sangat mahal. Sudah tiga tahun Dayu berkampanye untuk mengumpulkan dan mengirimkan buku ke Papua. “Mulainya sebenarnya tak sengaja,” Dayu menuturkan. Seorang teman di Nabire, Longinus Pekeuru, yang mengelola pendidikan anak usia dini, menyampaikan niatnya membuat taman bacaan untuk anak-anak didiknya. Tapi dia kesulitan mengumpulkan buku. “Karena, cari buku di Nabire memang susah dan mahal,” kata Dayu. Dayu, yang kala itu sudah mengundurkan diri dari kantornya dan sedang kuliah di Semarang, bersedia membantu mengumpulkan buku. Lewat Twitter, Dayu menyebarkan “proposal” Longinus untuk mendirikan taman bacaan di Nabire. Mulanya, dia memakai akun BagiBuku.
Lantaran kurang spesifik, sangat sedikit yang menanggapi. Setelah berdiskusi dengan teman, Dayu mengubahnya menjadi BukuUntukPapua. Andi Malewa, pengelola Rumah Baca Panter di Depok, menanggapi proposal Dayu. Dia menawarkan 500-an buku untuk dikirim ke Papua. “Waktu itu dia bilang ambil saja,” kata Dayu. Dari Yogyakarta, Dayu datang sendiri ke Depok menemui Andi Malewa. Setelah digabung dengan sejumlah penyumbang lain, total terkumpul sekitar 1.000 buku yang siap dikirim ke Nabire. Setelah paket buku itu dikirim, Andi menantang Dayu, kenapa cuma mengirim buku untuk satu rumah baca? Walaupun isi perut buminya sangat kaya, dalam urusan akses dan tingkat pendidikan, Papua memang jauh tertinggal di belakang dari daerah-daerah lain di negeri ini. Ya, bagaimana tak tertinggal jika mendapatkan buku saja sulit. Jadi, tak usah bicara soal minat baca jika mendapatkan buku saja susahnya minta ampun. Dayu, yang sudah sedikit berpengalaman mengkampanyekan BukuUntukPapua, memutuskan meneruskan “proyek”-nya untuk mengumpulkan buku bagi provinsi di ujung timur Indonesia itu. Dayu bekerja sama dengan orang-orang seperti Demianus Nawipa, yang berniat membuat rumah baca di kampung halamannya.
kisah sukses pendiri buku untuk papua

Ada lagi Agustinus Kambuaya, yang meminta bantuan BukuUntukPapua untuk mengumpulkan buku bagi rumah baca di kampung di lereng Gunung Dafonsoro. Himpunan Mahasiswa Kebar di Yogyakarta juga menghubungi Dayu dan teman-temannya untuk pengumpulan buku bagi rumah baca di Kebar, Kabupaten Tambrauw. Beberapa rumah baca minta izin Dayu untuk memakai nama BukuUntukPapua (BUP). “Saya bilang enggak masalah karena itu membantu. Karena, banyak orang yang punya kepedulian tetapi bingung mau memulai membantu dari mana. Dengan nama BUP, membantu orang lebih percaya diri,” kata Dayu. Sampai sekarang, BukuUntukPapua sudah mengirim sekitar 20 ribu buku untuk 35 rumah baca di berbagai daerah di Papua. “Harapan saya, semua kampung di Papua punya rumah baca.” Dayu tak hanya berkampanye di media sosial untuk menjaring buku. Lewat Kelas Cerdas, dia mendekatkan BukuUntukPapua kepada para penyumbang buku maupun mereka yang ingin terlibat gerakan itu. Lewat Kelas Cerdas, Dayu tak cuma mengumpulkan buku, tapi juga berbagi ilmu. “Setiap pengumpulan buku selesai, kami undang praktisi untuk berbagi ilmu,” kata Dayu. Ilmu itulah yang “dibarter” dengan buku. Semua pihak pun senang. Penyumbang buku dapat ilmu, praktisi senang lantaran ikut membantu. Saat ini Kelas Cerdas memang lebih banyak diadakan di kota-kota di Jawa. “Kalau nanti saya balik ke Papua, saya juga akan bikin di sana. ”Dayu memang tak mau selamanya tinggal di Pulau Jawa. “Saya tak mau berlama-lama di sini,” kata dia. Bersama istrinya, dia bertekad akan pulang ke tanah kelahirannya dan membangun Papua.
Sumber Majalah Detik 21 - 27 SEPTEMBER 2015

Muhammad Alfan Ardhani

Founder - CEO KampusPolines.blogspot.co.id. Mahasiswa Teknik Listrik di Polines. Anak Kampung yang Hijrah Ke Kota demi Masa Depan yang cerah

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan Kritik dan Saran yang membangun