Nabi Muhammad SAW bisnis ketika usianya masih sangat
muda. Keputusannya untuk bisnis diambil dari situasi dan kondisinya yang
memaksa Nabi Muhammad SAW harus survive
dari ketergantungannya terhadap paman dan saudara-saudaranya.
Nabi Muhammad SAW muda sudah memiliki rasa malu bila harus terus menerus hidup
bergantung dengan orang lain.
Keinginannya untuk
mandiri memaksanya untuk terjun memulai bisnis sedini mungkin. Kondisinya yang
demikian, membuat Nabi Muhammad SAW berpikir keras bagaimana menangkap peluang
bisnis yang ada. Peluang demi peluang bisnis disambarnya sehingga ketika masih
muda, Nabi Muhammad SAW sudah menjadi orang yang mandiri dan hidup
berkecukupan.
Bahkan Nabi Muhammad SAW
muda sudah menjadi orang kaya dengan bukti bahwa beliau berani melamar seorang
janda kaya raya yang menjadi patner bisnisnya, Siti Khadijah dengan 20 ekor
unta muda. Bila harga satu ekor unta muda Rp. 10 juta, berarti Nabi Muhammad SAW
melamar Siti Khadijah dengan nilai lamaran Rp. 200.000.000,-. Pertanyaannya
adalah; Sekarang siapakah di antara kita orang-orang Muslim Indonesia yang
melamar calon istrinya dengan uang sebesar itu? Malu rasanya kita dibuatnya
oleh Nabi Muhammad SAW muda. Kita ternyata lebih miskin dari Nabi Muhammad SAW.
Kita miskin harta, miskin keberanian, miskin kemandirian, miskin kelapangan
hati, dan miskin kepercayaan. Nabi Muhammad SAW muda adalah sangat luar biasa
dibanding pemuda seusianya dari dulu hingga sekarang. Nabi Muhammad SAW bisa
demikian, karena beliau seorang pengusaha yang sukses.
Menanamkan Kemandirian
Kembali kepada sosok Nabi
Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad SAW muda sudah berjibaku dengan keringat dan
peluh untuk berbisnis, door
to door keliling kota Makkah dan
kota-kota lain di jazirah Arab untuk menjajakan dagangannya. Di usia belasan tahun
itu, apa yang sudah kita lakukan? Anak-anak kita, apa yang mereka lakukan dalam
upayanya membangun kepribadian yang mandiri? Siapa di antara kita dan anak-anak
negeri ini yang berani keluar dari ketergantungannya terhadap orang tua,
saudara dan orang-orang terdekatnya yang dicintainya, selepas masa baligh.
Sadar atau tidak,
terkadang kita dininabobokan oleh keadaan dan lingkungan kita. Orang tua kita, saudara
kita, orang-orang yang kita cintai, terkadang membuat kita tak berdaya bangkit
dari belenggunya sehingga kita menjadi pemuda yang cengeng, selalu meminta dan
tidak diajarkan secara cukup bagaimana menjadi pemberi. Kita tidak diajarkan
oleh lingkungan kita dalam satu kondisi yang membuat kita mandiri dan banyak
berderma. Kita dibuat selalu bergantung dengan mereka. Terlalu sayang mereka,
tetapi ternyata berakhir dengan penyesalan, karena sesungguhnya mereka sedang
mengajari kita keterpurukan dan keterbelakangan. Orangtua kita adalah “orangtua
miskin” (meminjam istilah yang dipakai oleh Robert T. Kiyosaki) bukan orang tua
kaya. Masa depan pemuda-pemudi kita sedang dikebiri oleh sebagian orang tua kita
yang sedang berapologi dengan mengucapkan “aku sayang kamu, Nak.” Dan anak pun
terbuai oleh “kasih sayang” itu berlindung justru semu sesungguhnya.
Hati-hatilah dengan
“kasih sayang” orang tua. Nabi Muhammad SAW memang seorang anak yatim sejak
lahir, dan yatim piatu ketika usianya merangkak 6 tahun menyusul kematian
ibundanya ketika dalam perjalanan pulang dari ziarah makam ayahanda Rasulullah,
Abdullah. Tak berayah, tak beribu sejak kecil memposisikan Nabi Muhammad SAW
dalam kondisi yang prihatin dan terjepit keadaan. Kasih sayang dari orang tua
tidak pernah diperolehnya secara memadai. Tetapi memang demikianlah tradisi
orang Makkah waktu itu untuk mendidik anak-anaknya mandiri. Bayi-bayi yang
lahir tidak diasuh oleh orang tuanya sendiri, melainkan dibawah asuhan orang
lain. Nabi Muhammad SAW kecil tidak disusui oleh ibunya, tetapi diasuh oleh seorang
perempuan dari Bani Sa’diyah, yaitu Halimah, yang jauh dari Makkah tempat
tinggalnya. Keadaannya dibuat demikian, sebagai pelajaran kemandirian untuk Nabi
Muhammad SAW. Karena pendidikannya yang demikian, menuntut Nabi Muhammad SAW
muda harus mandiri, hidup tak bergantung dengan orang lain.
Solusi bangkit dari
keterpurukan Nabi Muhammad SAW muda, membuat beliau berkepribadian yang
mandiri, tangguh, ulet, disiplin dan kukuh dalam berpendirian. Hidup dengan
mengikuti orang lain (kakek dan pamannya) membuat dia tidak mau berpangku
tangan mengharapkan pemberian dan bantuan dari saudarasaudaranya secara terus
menerus. Nabi Muhammad SAW muda harus disiplin, tidak mau berbuat salah, harus teliti
dan mesti tabah menahan penderitaan.
Selama 20 tahun, Nabi
Muhammad SAW menjalankan profesinya sebagai wirausaha. Waktu 20 tahun untuk bisnis
bukanlah waktu yang sebentar, namun hal ini sering luput dari pengamatan para
ahli dan analisis. Kajian tentang bagaimana bisnis yang dijalankan Nabi
Muhammad SAW dari mulai muda hingga menjelang kerasulannya, usia 40 tahun,
sering tidak menjadi bahan kajian kita. Kita hanya terfokus perhatiannya dengan
apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. ketika beliau berdakwah, menyampaikan
wahyu-wahyu setelah kerasulannya. Bahkan terlalu menyempitkan persoalan, kita
terkadang hanya membicarakan Nabi Muhammad SAW kaitannya dengan ritual saja.
Bila kita bicara salat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya barulah
kita menyinggungkannya dengan Nabi Muhammad SAW. Padahal masa kerasulan Nabi
Muhammad SAW. hanya 23 tahun, terlalu sedikit waktunya bila dibandingkan dengan
masa ketika Nabi Nabi Muhammad SAW menjadi orang biasa, 40 tahun. Mengapa masa yang
begitu panjang kita luput menolehnya?
Entrepreneur Personality Nabi Muhammad SAW
Kita luput meneladani apa
yang Nabi Muhammad SAW lakukan dalam kurun kehidupannya yang lebih panjang, dan
telah mengantarkannya menjadi orang kaya karena kemampuannya yang mahir dalam
berbisnis. Ketokohan muda sebagai entrepreneur sejati banyak sekali yang mesti
diteladani oleh para pemuda. Karena sesungguhnya Nabi Muhammad SAW muda telah
banyak melahirkan embrio-embrio yang mendasari prinsip-prinsip etika bisnis
modern.
Nabi Muhammad SAW muda
terkenal dengan julukannya Al-Amin,
orang yang dapat dipercaya. Gelar seperti itu
pernah ada untuk seorang pemuda di masanya, bahkan kurun berikutnya hingga hari
ini. Mengapa Nabi Muhammad SAW dijuluki Al-Amin? Adakah semata hanya keberhasilannya memimpin
renovasi ka’bah yang saat itu hampir menjadi pertengkaran antar suku di Makkah?
Ternyata tidak hanya itu. Kalaulah peristiwa itu sebagai pemicunya, namun
sesungguhnya perilaku menjadi orang yang selalu dapat dipercaya itu memang sudah
dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kegiatan sehari-harinya dalam waktu
yang panjang.
Baca Juga 11 Tips Bisnis Menjadi Pengusaha Sukses
Baca Juga 11 Tips Bisnis Menjadi Pengusaha Sukses
Ketika berjualan, Nabi
Muhammad SAW berperilaku jujur. Apa adanya dia sampaikan kepada calon-calon pembelinya
tentang kualitas produk yang dijualnya. Bila produknya cacat, Nabi Muhammad SAW
juga memberi tahu kepada konsumennya bahwa produknya memiliki cacat. Bila Nabi
Muhammad SAW berjualan kurma, beliau mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi
dengan produk itu.
Nabi Muhammad SAW sangat
mengutamakan pelayanan yang terbaik terhadap para pelanggannya. Ketika bisnis
modern berbicara tentang pentingnya customer satisfaction
ternyata 14 abad lebih Nabi Muhammad SAW sudah
menjalankan itu. Nabi Muhammad SAW tidak mau mengecewakan pelanggan, apa yang
diinginkan pelanggan semampunya dipenuhi. Bila Nabi Muhammad SAW tidak mampu,
maka dia juga akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa dirinya tidak mampu.
Tetapi bila mampu, dia akan memenuhi janjinya dengan tepat. Tidak pernah Nabi
Muhammad SAW menipu atau mengatakan dengan perkataan yang bohong dalam berjualan.
Nabi Muhammad SAW juga senantiasa memegang janji dalam berjualan. Kesetiaannya
memegang janji itulah yang membuat senantiasa banyak orang puas karena layanan
dan perilakunya dalam berjualan.
Entrepreneur
personality-nya
(kepribadian seorang wirausahanya) yang merdeka, bebas dan senantiasa percaya
pada diri sendiri adalah modal keberaniannya untuk mengembangkan usahanya sampai
ke mancanegara. Dalam kurun waktu berbisnisnya yang cukup lama, 20 tahun,
membuatnya sangat terkenal di Yaman, Syiria, Bahrain, Bashra, Irak, Yordania dan
dataran gurun Timur Tengah. Sebagai eksportir maupun importir kebutuhan
bahan-bahan pokok masyarakat Makkah dan jazirah Arab pada umumnya, beliau
jalani dengan tekun, rajin, disiplin dan dengan penuh dedikasi.
Salama 20 tahun Nabi
Muhammad SAW berbisnis, tidak pernah ada catatan merah tentang perilakunya
dalam berbisnis. Karena sifat dan dedikasi Nabi Muhammad SAW yang demikian,
maka memunculkan berbagai pinjaman komersial (commercial loan)
yang tersedia di kota Makkah dalam rangka membuka peluang kemitraan antara Nabi
Muhammad SAW dengan pemilik modal. Banyak orang menawarkan modal untuk diputar
dalam bisnis Nabi Muhammad. Kepribadian yang Al-Amin telah
membuat banyak orang berebut ingin berbisnis dan bermitra dengan Nabi Muhammad SAW,
salah satunya adalah dengan janda kaya yang kelak menjadi istrinya, yaitu
Khadijah.
Dengan Khadijah, Nabi
Muhammad SAW bukanlah sebagai buruh atau karyawannya melainkan sebagai mitra
bisnisnya yang menjalankan bisnis secara profit sharing
(bagi hasil). Ketika lepas dari pamannya, tidak
ditemukan dalam literatur mana pun, bahwa Nabi Muhammad pernah menjadi karyawan
atau buruh. Nabi Muhammad senantiasa menjadi entrepreneur dengan segala suka
dukanya.
Kembalilah ke Bisnis Nabi Muhammad SAW.
Beruntunglah jika kita
mempunyai fitur dalam islam yang tangguh. Anda mempunyai figur seorang entrepreneur seperti Nabi Muhammad SAW Bukan hanya Muslim
yang membanggakan Nabi Muhammad SAW., non Muslim pun bangga dengan menempatkan Nabi
Muhammad SAW sebagai tokoh nomor wahid di dalam bukunya. Sekarang, sebagai
Muslim, mengapa Anda melupakan profesionalisme bisnis Nabi Muhammad SAW?
Sebagai jumlah terbanyak di dunia, mengapa Anda sebagai Muslim membanggakan
diri sebagai karyawan? Pemuda-pemudi kita yang sudah cukup sekolah dan cukup
sekolah dan cukup usia mengapa masih berbangga diri dengan merunduk kepada
orang lain dengan menyodorkan lamaran kerja? Apakah sekolah dan perguruan
tinggi kita hanya dilahirkan untuk menjadi pencari kerja? Mengapa tidak
diciptakan out put pendidikan kita sebagai orang yang mandiri menciptakan
lapangan kerja? Mengapa jejak Nabi Muhammad SAW muda dilupakan oleh umat Islam
sendiri sehingga kita terpuruk seperti saat ini? Mengapa umat Islam di seluruh
dunia, apalagi di Indonesia, secara ekonomis berada di bawah ketiak asing?
Islam memiliki sistem muamalah sendiri yang sangat menjunjung tinggi etika
bisnis dengan baik dalam rangka menggapai ridha Tuhan. Prinsip-prinsip muamalah Islam tidak mengarahkan pemeluknya pada kehidupan
yang liberal kapitalistik.
Baca Juga Peluang Usaha di Bidang Pendidikan
Baca Juga Peluang Usaha di Bidang Pendidikan
Tetapi juga tidak sosialis
semata. Islam menjunjung tinggi keseimbangan dunia dan akhirat. Islam berdiri
di tengah. Siapa yang akan mengubah umat Islam menjadi peminta-minta ini? Hanya
umat Islam, hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya, dengan kembali mengikuti
jejak Nabi Muhammad SAW Yang sudah berbisnis pun harus kembali ke bisnisnya
Nabi Muhammad SAW Entrepreneur
harus teguh pendiriannya pada khittah perjuangan bisnis Nabi Muhammad SAW. Bisnis yang
dijalankan dengan prilaku al-Amin, kepercayaan penuh, kejujuran, kedisiplinan,
dan profesional. Banyak bisnisnya orang Islam Indonesia yang hancur berantakan
tak berkah, karena dijalankan dengan tidak jujur, menipu, korupsi, katebelece, dll.
Nabi Muhammad SAW
senantiasa berbisnis tanpa menggunakan riba dan juga tidak pernah membungakan uang.
Tetapi umat Islam Indonesia masih asik dengan riba bahkan sangat menikmati
bunga, uang yang didapat bukan karena kerja kerasnya? Nabi Muhammad SAW
memandang untung itu tidak selalu dari uang. Untung adalah rezeki yang bisa beranekaragam
bentuknya. Bisa berbentuk uang, relasi persaudaraan yang juga sebagai investasi
pelanggan, atau berbentuk keselamatan hidup. Nabi Muhammad SAW tidak pernah
melakukan monopoli dalam berbisnis.
Nabi Muhammad SAW
senantiasa dalam berbisnis menyesuaikan dengan kaidah pasar. Prinsip keadilan sangat
dipegang teguh oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbisnis. Kapitalisme sangat
menunjang tinggi keuntungan financial semata. Untung rugi hanya dihitung dengan
ukuran finansial. Sosialisme sangat menjunjung tinggi proletariat. Negaralah
penguasa tunggal kepemilikan harta. Masyarakat tidak punya hak individu atas kekayaan.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Kritik dan Saran yang membangun